Catatan 3M di 2020, Pentingnya Peran Sains dan Mengapa Hal Tersebut Penting

Implikasi dari dunia tanpa sains telah terlihat jelas pada tahun 2020 ketika seluruh dunia diserang pandemi. Saatnya mengambil peran Sains dalam merespon pandemi. Di Asia Tenggara, misalnya, Malaysia dan Singapura dengan cepat mengadaptasi teknologi termutakhir. Contohnya seperti aplikasi pelacakan kontak digital atau contact tracing. Aplikasi ini dapat mengidentifikasi orang yang mungkin telah melakukan kontak dengan individu yang terinfeksi. Selain itu ada juga konsultasi kesehatan berbasis virtual untuk menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat.

Skenario di atas menunjukkan pentingnya sains dan inovasi serta relevansinya pada dunia yang terus berubah. Sentimen serupa terlihat pada temuan dari gelombang kedua dari State of Science Index (SOSI) by 3M. Temuan yang bertajuk 2020 Pandemic Pulse ini dilakukan pada Juli-Agustus 2020.

Pada masa pandemi COVID-19, sebanyak 89% responden menyatakan kepercayaannya terhadap sains; 86% merasa percaya terhadap ilmuwan; dan 77% setuju bahwa sains butuh lebih banyak pendanaan. Lebih dari itu, 92% responden di seluruh dunia percaya bahwa untuk mengatasi pandemi global, sains dibutuhkan. Sains diperlukan dalam setiap tindakan kita. Hal ini juga menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap sains. Untuk pertama kalinya, seluruh dunia mengapresiasi sains dan relevansinya terhadap kehidupan sehari-hari.

Sains telah memberikan kita superhero baru

Dunia yang semakin skeptis mulai menyadari pentingnya sains di sekitar kita. Menurut SOSI, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, hanya 28% responden merasa skeptis terhadap sains. Ini turun 7 angka dalam kurun waktu kurang dari setahun. Ini adalah perubahan terbesar dalam sejarah SOSI.

Masyarakat di seluruh dunia mulai menganggap tenaga kesehatan dan ilmuwan sebagai superhero baru. Termasuk juga trio heroik yang meliputi ahli kesehatan masyarakat internasional. Trio ini adalah Dr Fauci dari Amerika Serikat, Dr Ashley Bloomfield dari Selandia Baru, dan Dr Noor Hisham Abdullah dari Malaysia. Alih-alih memakai jubah, para superhero ini mengenakan alat pelindung diri (APD). Selain itu juga menggunakan kekuatan super yang dimilikinya adalah keahlian medis, yang didukung oleh sains.

Keberlanjutan dan sains kini berjalan di satu jalur yang sama

Ketika layanan kesehatan terus menjadi prioritas pada masa pandemi (80%), masyarakat kini melihat sains sebagai solusi untuk mengatasi isu-isu penting terkait dengan lingkungan hidup dan keadilan sosial, termasuk kesetaraan STEM dan pendidikan STEM yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Faktanya, menurut SOSI, 82% responden setuju akan adanya efek buruk dari dunia yang tidak percaya terhadap sains.

Persepsi masyarakat terhadap sains yang terus berubah adalah kunci dari pentingnya temuan-temuan SOSI. Meskipun dunia saat ini masih jauh dari pandangan tunggal terhadap sains, namun tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat mulai paham akan bagaimana sains memudahkan kehidupan mereka sehari-hari.

Sekalipun kepercayaan dan apresiasi masyarakat terhadap sains mulai meningkat, masih ada banyak celah dan tantangan yang harus diselesaikan agar generasi ilmuwan selanjutnya dapat menjadi lebih beragam dan bekerja sama untuk menuntaskan masalah-masalah global.

Tantangan terhadap edukasi STEM di Asia Tenggara

Meskipun ada banyak orang yang mendukung sains, namun hanya sedikit orang yang berniat untuk mempelajari sains, terutama generasi muda. SOSI melaporkan individu yang lebih muda (28%) tidak bersemangat untuk mempelajari sains dibandingkan dengan generasi baby boomers (9%).

Persepsi adalah suatu hal yang penting. Ada beberapa kesan pertama negatif yang sering dimiliki siswa saat mempelajari mata pelajaran STEM. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya akses, kepercayaan diri, serta ketidaksetaraan gender dan latar belakang ras yang melunturkan aspirasi mereka untuk mengejar karir di STEM.

Sebagai contoh, pemerintah Thailand, Indonesia dan Malaysia menghabiskan 20%[1] dari anggaran negara untuk meningkatkan sistem pendidikan dan menerapkan mata pelajaran STEM ke dalam kurikulum pendidikan. Namun, banyak siswa di Asia Tenggara masih beranggapan tidak terkaitnya antara mata pelajaran STEM yang diajarkan di kelas dan praktiknya di dunia nyata.

Pada tahun 2018, kurang dari setengah pelajar di Malaysia (44%)[2] memilih mata pelajaran STEM, karena mereka tidak mengerti bagaimana sains berperan besar terhadap kehidupan. Sedangkan hanya 33.1%[3] pelajar di Indonesia yang memutuskan untuk mempelajari STEM. Sementara itu, Filipina menduduki peringkat kedua terendah di antara 79 negara dalam literasi matematika dan sains dalam program International Student Assessment (Pisa) yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD)[4]. Saat ini STEM mulai mendapatkan daya tarik di Vietnam, kelangkaan buku STEM & materi sains lainnya, kurangnya pelatihan yang tepat dan pemikiran inovatif di antara para guru adalah beberapa tantangan yang dihadapi pendidikan STEM di pasar yang berkembang pesat ini.

Mendorong pendidikan STEM akan menggerakan kualitas pekerja dan inovasi

Tampaknya menjadi sebuah cara untuk memecahkan stereotip negatif di sekitar pendidikan STEM di Asia Tenggara dengan meningkatkan pembelajaran berbasis keterampilan dan praktik di tingkat sekolah untuk pelajaran STEM. Contoh, pengkombinasian alat pengajaran digital seperti video dengan pengajaran tatap muka dan praktikum bisa meningkatkan minat dan partisipasi pelajar dalam mempelajari STEM.

Kunci keberhasilan studi STEM lainnya adalah menunjukkan beragamnya profesi dan kemajuan karir yang didapat dari sains dan teknologi. Saat ini wilayah Asia Tenggara adalah salah satu daerah dengan perkembangan pesat, salah satunya dari segi kemajuan teknologi. Dengan kesempatan-kesempatan baru yang muncul dari pasar tersebut, akan selalu ada permintaan untuk tenaga yang berkualitas.

Sebagai contoh, Thailand berkeinginan untuk menjadi negara maju pada tahun 2035[5] dengan tujuan untuk membuat langkah inovatif dalam ranah kecerdasan buatan (artificial intelligence), robotic, biosains, aerospace, serta pilar-pilar revolusi industri 4.0 lainnya. Sementara itu, Filipina telah melangkah menuju pembangunan smart city pertama. Sedangkan di Indonesia telah ditandai sebagai pusat teknologi tingkat regional, dengan lahirnya start-up berbasis teknologi seperti Traveloka dan Gojek.

Ketika pasar tersebut bergerak ke arah kemajuan teknologi, keilmuan STEM dapat membantu untuk menghasilkan lulusan yang siap terjun ke dalam industri. Tentunya dengan perspektif-perspektif segar dan haus akan inovasi.

3M Berusaha Membuka Jalan untuk Pertumbuhan yang Konsisten

3M menyerukan kolaborasi dan tanggung jawab untuk membuka jalan bagi pertumbuhan yang konsisten dan inovasi di bidang sains. Kevin McGuigan, 3M Managing Director, SEA Region mengatakan, “Misalnya dengan menemukan solusi terbaru untuk memecahkan masalah global yang berkelanjutan atau mendorong lebih banyak generasi muda untuk menempuh pendidikan STEM, kolaborasi antara pemerintah, swasta, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadi penting untuk menggerakan kemajuan di bidang ilmiah.”

SOSI 2020 menunjukkan sebanyak 53% responden percaya bahwa di tengah-tengah tantangan pada tahun 2020, perusahaan sebaiknya memprioritaskan kolaborasi dengan pemerintah. Ini sebagai solusi dari tantangan global — angka tersebut berada di bawah mempersiapkan diri untuk pandemi-pandemi di masa yang akan datang (61%).

Seperti kata pepatah, tindakan berbicara lebih lantang daripada kata-kata. 3M telah membuat beberapa program yang relevan dengan prioritas masyarakat untuk di selesaikan perusahaan. Setiap tahun, 3M mengadakan hibah kompetitif internasional untuk mendukung pilar utama Komunitas, Lingkungan, dan Pendidikan,

Pada tahun 2019, dalam kategori 3Mgives Education, 3M telah menyumbangkan USD$150,500 demi kemajuan kelompok-kelompok yang kurang terwakili di wilayah Asia Tenggara. Ini adalah hasil dari kolaborasi dengan LSM local dan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Di Vietnam, USD$22,000 diberikan kepada Loreto Vietnam, di Malaysia, USD$17,500 diberikan kepada Teach for Malaysia, dan Doctorabbit Indonesia menerima USD$26,000. Sementara itu, The Mind Museum di Filipina menerima USD$50,000, dan Science Center Singapore menerima dana USD$35,000.

Dengan bekerja sama dengan para edukator lokal, kami dapat mengembangkan program. Program ini tidak hanya meningkatkan minat terhadap STEM namun juga mengumpulkan suara untuk mengentaskan ketidaksetaraan dalam pendidikan.

“Jika ada satu hal yang dapat dipelajari dari masa depan sains menurut SOSI, adalah kita bergerak ke arah yang lebih baik. Sebagai penduduk dunia yang bertanggung jawab, ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Terutama untuk memastikan minat terhadap sains bertahan lama agar kita dapat menciptakan masa depan yang berkelanjutan,” tutup Kevin.

Bagikan Berita :