Generasi Muda Tidak Terlalu Mengkhawatirkan Dampak Perubahan Iklim

Meskipun suhu global mencapai rekor tertinggi, dan bencana banjir serta kebakaran hutan melanda tahun ini, generasi muda dari 39 negara tampaknya mempertahankan tingkat optimisme yang tinggi terkait dampak pribadi mereka terhadap bencana iklim. Sebuah laporan tahunan, Climate Reality Barometer, yang diselenggarakan oleh Seiko Epson Corporation dan melibatkan lebih dari 30.000 responden dari berbagai usia, menyajikan temuan menarik mengenai persepsi generasi muda terhadap perubahan iklim.

Dari survei tersebut, ditemukan bahwa hampir setengah dari responden berusia 16 hingga 29 tahun merasa “sangat optimis” atau “agak optimis” bahwa mereka tidak akan terkena dampak peristiwa ekstrem seperti banjir, kekeringan, atau tanah longsor sepanjang hidup mereka. Namun, tingkat optimisme ini menurun signifikan menjadi hanya 32 persen pada kelompok usia 55 tahun ke atas.

Secara mengejutkan, kenaikan biaya lebih menjadi perhatian utama bagi mereka yang berusia 29 tahun ke bawah daripada pemanasan global. Meskipun perubahan iklim tetap menjadi isu utama bagi kelompok usia 30 tahun ke atas, munculnya perbedaan prioritas ini menarik perhatian terhadap dinamika kompleks yang mempengaruhi persepsi generasi terhadap krisis iklim.

Lebih Fokus Dampak Ekonomi

Climate Reality Barometer menciptakan gambaran lebih luas tentang pandangan generasi yang lahir sejak tahun 1995, yang sering kali disebut sebagai “generasi COP” sejak PBB mengadakan konferensi iklim pertamanya. Survei menyoroti bahwa generasi ini tidak mengalami krisis iklim dengan intensitas yang sama seperti kelompok yang lebih tua. Yasunori Ogawa, CEO Seiko Epson, berpendapat bahwa keakraban generasi muda dengan perubahan iklim dan keyakinan pada solusi berbasis teknologi mungkin menjadi penyebab tingkat urgensi yang lebih rendah.

Namun, kekhawatiran muncul mengenai kesenjangan antara persepsi dan realitas atmosfer, yang memerlukan pendekatan edukatif lebih lanjut. Ogawa menyoroti bahwa banyak orang mungkin belum sepenuhnya memahami konsekuensi dan jalur iklim bumi berdasarkan tingkat emisi saat ini dari pembakaran bahan bakar fosil.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menegaskan urgensi tindakan pada bulan September, mengingat bahwa umat manusia telah membuka pintu menuju “neraka” dengan kenaikan suhu yang bisa mencapai 2,8 derajat Celsius. Perubahan iklim telah memperburuk inflasi dan peristiwa cuaca ekstrem, seperti kekeringan dan banjir, yang akan berdampak pada pertanian, menempatkan lebih banyak tekanan pada pasokan pangan seiring dengan percepatan pemanasan global.

Laporan juga mencatat bahwa sekitar 38 persen responden, dari berbagai kelompok usia, telah mengubah perilaku mereka untuk membantu mengatasi perubahan iklim. Reduksi perjalanan internasional dan pengurangan konsumsi menjadi langkah umum, dengan hampir 20 persen melaporkan beralih ke kendaraan listrik, sementara 51 persen berharap melakukannya di masa depan.

Meskipun optimisme generasi muda memberikan cahaya harapan, tantangan tetap besar. Perlu adanya upaya lebih lanjut dalam mendidik dan meningkatkan pemahaman akan konsekuensi perubahan iklim serta mendukung keputusan dan tindakan yang dapat membawa dampak positif dalam menghadapi krisis global ini.

Bagikan Berita :